Artikel untuk Orang Tua
MEMUPUK KECERDASAN SPIRITUAL ANAK
elain kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dan kecerdasan emosional (emotional intelligence) saat ini telah populer juga sebuah istilah kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Sederet penelitian telah menyimpulkan bahwa potensi dan bakat kecerdasan spiritual justru dimiliki anak sejak usia dini. Bila dalam Islam terdapat hadits Nabi yang intinya mengajarkan bahwa 'setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah...', maka sebenarnya hadits itu merujuk pada potensi dan bakat spiritual anak yang sejak dini sudah melekat secara intrinsik.Secara ilmiah, potensi dan bakat spiritual pada anak juga telah dibuktikan oleh Dr Marsha melalui karya mutakhirnya, 'Spiritual Intelligence: What We Can Learn from the Early Awakening Child' (Juni, 2000). Buku bagus ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Soesanto Boedidarmo, dengan judul 'Kecerdasan Spiritual: Belajar dari Anak yang Mempunyai Kesadaran Dini' (Elex Media Komputindo, 2001).
Sinetar menemukan potensi-potensi pembawaan spiritual ('spiritual traits') pada anak-anak, seperti sifat keberanian, optimisme, keimanan, perilaku konstruktif, empati, sikap memaafkan, dan bahkan ketangkasan dalam menghadapi amarah dan bahaya. Semua itu, menurut penelitian Sinetar, menjadi sifat-sifat spiritual anak-anak sejak usia dini.
Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons (The Psychology of Ultimate Concerns), sebagaimana yang disampaikan oleh Jalaluddin Rahmat, yaitu:1. kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
2. kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
3. kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
4. kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah;
5. dan kemampuan untuk berbuat baik.
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya.
Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, sebagai karakteristik yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, "Apa yang sedang Anda kerjakan?" Yang cemberut menjawab, "Saya sedang menumpuk batu." Yang ceria berkata, "Saya sedang membangun masjid!" Yang kedua telah mengangkat pekerjaan "menumpuk bata" pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual -seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman, "Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami." Rahmat memiliki karakteristik yang keempat.
Karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, "Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia."
Kiat Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak
Dengan pengertian di atas, Jalaluddin Rahmat memberikan kiat-kiat untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak-anak. Simak kiat-kiat berikut.Menjadi "gembala spiritual" yang baik untuk anak
Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah "mengakses" sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas -yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya.
Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di sekitarnya sebagai "orang yang berjalan dengan membawa cahaya." (Al-Quran 6:122) Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang yang dengan kecerdasan spiritual tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.
Bantulah anak untuk merumuskan "misi" hidupnya
Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan akhir kita. Dengan menggunakan teknik "what then" dalam anekdot Danah Zohar, kita dapat membantu anak untuk menemukan misinya. Jika kamu sudah sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa, what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak. Jika sudah punya duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah tidak terhitung jumlahnya. Sampai di sini, kita sudah membantu anak untuk menemukan tujuan hidupnya.
Baca Al Quran bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan
Tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar Islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, "Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan untukmu!" Setelah itu, kata Iqbal, "aku merasakan Al-Quran seakan-akan berbicara kepadaku."
Ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual
Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. "Manusia," kata Gerbner, "adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya." Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-'Attar, Rumi, Sa'di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua sumber.
Jalaluddin membagi pengalaman, ia senang berdiskusi dengan anaknya bukan hanya kisah-kisah Islam saja, juga cerita-cerita dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India, mitologi Yunani, dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak kisah-kisah pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula, ia membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai Crayon Sin Chan. Ia selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya.
Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah
Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (Divine Grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merkah setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat menyebut asma-Nya.
Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan
Kegiatan agama adalah cara praktis untuk tune in dengan Allah SWT sebagai Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sholat dan doa mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual.
Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sholat bukan sekedar kewajiban. Sholat adalah kehormatan untuk menghadap Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang!
Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional
Seperti telah disebutkan di atas, manusia mempunyai dua kemampuan fitrah untuk mencerap hal-hal material dan hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata "masakan ini pahit", kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata "keputusan ini pahit", kita sedang menggunakan indra batiniah kita.
Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan kemampuan spiritual kita (Ini yang kita sebut sebagai kecerdasan spiritual). Kecerdasan spiritual harus dilatih. Salah satu caranya ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata "pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga", kita dapat berkata "pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta."
Bawa anak untuk menikmati keindahan alam
Teknologi moderen dan kehidupan kota membuat kita terasing dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya.
Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.
Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita
Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, "Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau." Tuhan berfirman, "Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya."
Jalaluddin Rahmat mencontohkan kegiatan sekolah yang disebut sebagai "spiritual camping". Anak-anak dibawa ke daerah pedesaan, di mana alam relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya dengan beribadat dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin di sekitar itu.
Seringkali, ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untuk memberkan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.
Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial
Sebuah kisah nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang "catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya." Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik, rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab.
Sumber:
• Sukidi, Kecerdasan Spiritual Anak, www.endonesia.com
• Jalaluddin Rahmat, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak, Artikel lepas Muthahari
Jl. Cilaki 63, Bandung 40114
Tel. 022-7212216 Fax. 022-7214647
www.akalinteraktif.com
akal@akalinteraktif.com
Good blog, Sis & Bro! Please keep blogging. Good Luck! Kunjungi website ini, please..... blog dismanto
BalasHapus